Membangun pernikahan harmonis adalah impian
setiap pasangan, tapi sekaligus menjadi tantangan seumur hidup. Sama
seperti usia biologis manusia, pernikahanpun ada fase atau tahapannya.
Memahami perbedaan fase-fase dalam pernikahan akan membantu kita membangun hubungan yang lebih sehat dan berkualitas.
Memahami perbedaan fase-fase dalam pernikahan akan membantu kita membangun hubungan yang lebih sehat dan berkualitas.
Mau Harmonis? Kenali Tahapan Pernikahan Berikut :
Ada 7 fase atau tahapan pernikahan yang perlu kita pahami untuk menghasilkan hubungan yang lebih harmonis.
Tahap 1 : Passion/Gairah
Ini adalah tahap bulan madu, 0-2 tahun. Masa ini rasa saling tertarik begitu kuat menyatukan Anda dengan pasangan. Rasa tertarik ini membawa kita menuju komitmen untuk saling berbagi. Tapi tahap ini umumnya sangat pendek, sekitar 2 tahun. Setelah itu sebagian pasangan mulai merasakan kehilangan daya tarik ‘magis’ tersebut.
Pada tahap ini, gairah sangatlah kuat seperti sebuah gelombang perasaan yang amat menyenangkan. Sampai-sampai dunia ini serasa milik berdua. Persis seperti pertama jatuh cinta dan pacaran. Pada tahapan ini, intimasi mulai terbangun, demikian juga saling menghormati satu sama lain.
Tahap 2 : Realistis
Pada tahap ini, bulan madu mulai berakhir. Masing-masing mulai realistis melihat keadaan pasangan dan menatap masa depan. Mulai muncul kekecewaan karena menemukan bahwa pasangan banyak kekurangan yang tadinya tak terlihat. Misal, Anda mulai menemukan istri lupa merapikan dapur atau tidak menurunkan tutup toilet dengan baik. Anda menemukan pasangan malas mandi atau sembarangan menaruh barang.
Kekecewaan mulai menumpuk di hati anda. Inilah permulaan konflik yang tak terhindarkan. Pada masa ini, Anda berdua perlu belajar untuk menerima pasangan apa adanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Butuh mengembangkan kasih dan penerimaan tak bersyarat. Buahnya ialah tetap bisa respek meski menemukan kelemahan pasangan.
Sikap lain ialah, Anda perlu belajar mengkomunikasikan secara asertif perasaan sebenarnya. Menyampaikan hal yang anda inginkan dari pasangan. Sambil belajar berempati dan mendengarkan kebutuhan terdalam pasangan. Ini menciptakan fondasi yang kuat, dengan saling mendukung di tahun-tahun yang mulai sulit membangun intimasi
Komunikasi asertif adalah menyampaikan perasaan sesungguhnya, terutama emosi negatif tanpa menyerang mitra bicara. Sebagian kita, umumnya segan menyatakan perasaan seperti marah, sedih dan kecewa, lalu memilih menekan/ menyimpannya
Memendam emosi seperti marah dan kecewa apalagi dalam waktu lama hanya melukai diri sendiri. Tak ada yang salah dengan kesedihan atau kemarahan asal ada alasan dan menyampaikan dengan cara yang tepat. Sampaikanlah kemarahan dengan ekspresi, pilihan kata yang tepat dan pada waktu yang tepat.
Misal: “Pa, boleh kita membicarakan sesuatu yang penting diantara kita, kapan waktu yang enak buat Papa?”
Contoh marah asertif: “Pa, saya kecewa dan merasa marah karena Papa lupa kemarin saya ulangtahun…”
Bandingkan marah yg provokatif: “Itulah, emang sifat Papa itu egois selalu lupa sama istri. Kau tak pernah peduli ulang tahunku”
Marah asertif membuat kita lega, karena tidak perlu menekan kemarahan. Tapi tanpa perlu menyerang pribadi pasangan kita. Komunikasi tetap terjaga baik
Tahap 3: Pemberontakan
Pada tahapan ini pasangan anda mulai kangen dengan teman-temannya. Istri Anda mulai sering arisan atau sekedar reunian. Suka berlama-lama nongkrong dan belanja di mal. Sementara suami Anda lebih memilih asyik dengan hobinya. Ada yang suka memancing, tak sedikit menghabiskan waktu untuk berolahraga usai kantor. Tak sedikit tiba di rumah malah asyik chatting. Kadang tiba sampai rumah sudah larut malam tanpa kirim kabar dan tanpa rasa bersalah. Anda mulai jengkel, karena merasa pasanganmu sudah berubah, cuek.
Sama seperti remaja puber yang ogah jalan dengan orangtuanya, si istri ingin jalan-jalan ke mal tapi sang suami memilih bermain badminton dengan konconya. Yang paling berat ialah saat masing-masing dari mereka ingin membangun karier sendiri. Istri mulai merasa tidak puas hanya di rumah mengurus anak. Gengsi hanya menerima uang bulanan dari suami. Istri mulai usaha dan punya uang sendiri, mulai timbul perasaan disaingi.
Karena sudah punya karier dan uang sendiri tanpa disadari dan tak terhindarkan suami merasa istri mulai mendominasi percakapan. Mulailah saat bertempur atau konflik. Cinta di tengah situasi ini makin tak mudah. Seiring bertambahnya umur, alih-alih mengalah malah keduanya merasa diri benar, dan menuding pasangannyalah yang salah. Menyalahkan pasangan sebagai penyebab rumahtangga tidak bahagia.
Perasaan tersinggung makin menumpuk, dan mulai cenderung berpikir negatif terhadap pasangan. Mind-reading atau membaca pikiran suami. “Jangan-jangan dia sudah …..”
Akibatnya, semua yang baik daripasangan tidak terlihat, semua jadi negatif. Mulailah masing-masing menutup diri, marah jika dikritik pasangan
Tahap ini bagaimanapun tak terhindarkan. Di masa ini anda perlu mempelajari seni mengelola konflik. (Baca buku Ketrampilan Perkawinan)
Seringkali masalah timbul karena isi dari konflik itu sendiri. Sumbernya justru karena punya kemarahan tersembunyi dan sudah merasa frustrasi terhadap pasangan. Inilah yang membuat perasaan anda menjadi negatif meski pasangan berbuat baik.
Untuk menunjukkan kemarahan anda memilih dengan tindakan yang berlawanan dengan keinginan pasangan. Misal, suami anda minta hemat ehh Anda malah boros. Istri anda minta anda setia ehhh andanya malah selingkuh. Diam-diam Anda pindah kerja. Ini bisa menjadi awal petaka perkawinan termasuk perceraian.
Tahap 4: Kerjasama
Sementara pernikahan mengalami progres dia juga menjadi semakin rumit. Karier menanjak, rumah bertambah besar, komitmen personal bertambah dalam dengan munculnya anak-anak.
Dalam tahap kerjasama, pernikahan membutuhkan sifat seperti bisnis. Singkirkan dulu semua cinta-cintaan, emosi, dan hal-hal realisasi pribadi. Ada biaya-biaya bulanan yang harus dibayar, investasi untuk diurus, kesehatan untuk diperhatikan, dan yang terutama, biaya anak-anak sekolah.
Tahap 5: Reuni
Jika anda memiliki anak-anak, tahap kerjasama ini bisa berlangsung 10-20 tahun, dan akan menghilang tiba-tiba. Komitmen parenting akan berkurang, masalah finansial stabil, karir sudah diset, dan tagihan apapun bisa dibayar. Lalu bagaimana? Untuk pasangan yang bahagia, ini adalah saatnya untuk saling mengapresiasi satu sama lain kembali. Bukan sebagai orangtua atau penyedia, tetapi sebagai kekasih dan sahabat. Capailah tahap ini untuk kedamaian, kebahagiaan dan rekonsiliasi.
Semua itu terdengar indah tetapi seringkali sulit untuk dicapai. Api gairah harus distok ulang; kekecewaan serta jarak dari usia paruh baya harus diatur; peran dan ekspektasi dari pernikahan butuh untuk dibangun ulang.
Tahap 6: Ledakan
Pencetusnya ialah hilangnya pekerjaan, masalah kesehatan, atau perpindahan ke kota yang baru. Bisa jadi adanya masalah finansial, penyakit, hingga meninggalnya orangtua. Ini terjadi selagi anda menjalani hidup paruh baya dan menuju usia lansia. Dalam tahap ini, antara anda atau pasangan akan berhadapan dengan kejadian-kejadian besar yang dapat mempengaruhi hubungan Anda selama sehari, setahun atau seumur hidup. Sementara keenam tahap lainnya cenderung untuk muncul secara berurutan, tahap ledakan ini dapat terjadi kapan saja dalam masa pernikahan Anda. Terutama di usia 40 hingga 50 tahun.
Ketika dihadapkan dengan krisis pribadi, pernikahan justru dapat menjadi sumber penghibur. Sebaliknya bisa juga menjadi sumber ketakutan yang baru. Tugas melewati tahapan ledakan ini adalah: hadapi dengan sebaik-baiknya tantangan dan perubahan hidup yang ada. Jaga diri agar tetap bahagia dan sehat, tidak ditentukan situasi sekitar. Pernikahan tetap bisa menjadi sumber kebahagiaan setiap hari, asalkan anda cakap mengelola stres.
Tahap 7: Penyempurnaan
Survey menemukan bahwa kebahagiaan pernikahan muncul setelah beberapa dekade, melewati jalan panjang. Kebahagiaan memang bukan tujuan pernikahan. Kebahagiaan dikaruniakan di tengah perjalanan pernikahan. Setelah melewati pelbagai suka dan duka, untung dan malang. Dengan bertambah besarnya anak-anak dan pasangan sudah mengenal diri masing-masing maka makin bisa menikmati pernikahan. Setelah tinggal bersama sekian lama dapat mentolerir sikap, dan memahami kebutuhan masing-masing. Dalam tahap penyempurnaan ini saling “mengenal” satu sama lain menjadi kunci.
Penting pula diingat, jika ingin tetap bahagia jangan sampai anda kehilangan sifat kekanak-anakanberapapun umur dan berapapun banyak keriput yang anda miliki. Belajarlah humor dan bercanda hingga di usia senja.
Mempertahankan cinta sepanjang kehidupan menjadi kunci untuk menikmati hubungan yang penuh berkat. Meski banyak pengalaman buruk di masa lalu, hiduplah dimasa kini, dan bukan di masa lalu. Tak ada pasangan yang sempurna. Setiap pasangan dipanggil saling menyempurnakan sampai ajal memanggil.
Penutup
Membangun pernikahan yang sukses adalah tantangan seumur hidup. Mengerti fase pernikahan yang berbeda dapat membantu anda membangun hubungan yang lebih kuat dan lebih baik.
Ini adalah tahap bulan madu, 0-2 tahun. Masa ini rasa saling tertarik begitu kuat menyatukan Anda dengan pasangan. Rasa tertarik ini membawa kita menuju komitmen untuk saling berbagi. Tapi tahap ini umumnya sangat pendek, sekitar 2 tahun. Setelah itu sebagian pasangan mulai merasakan kehilangan daya tarik ‘magis’ tersebut.
Pada tahap ini, gairah sangatlah kuat seperti sebuah gelombang perasaan yang amat menyenangkan. Sampai-sampai dunia ini serasa milik berdua. Persis seperti pertama jatuh cinta dan pacaran. Pada tahapan ini, intimasi mulai terbangun, demikian juga saling menghormati satu sama lain.
Tahap 2 : Realistis
Pada tahap ini, bulan madu mulai berakhir. Masing-masing mulai realistis melihat keadaan pasangan dan menatap masa depan. Mulai muncul kekecewaan karena menemukan bahwa pasangan banyak kekurangan yang tadinya tak terlihat. Misal, Anda mulai menemukan istri lupa merapikan dapur atau tidak menurunkan tutup toilet dengan baik. Anda menemukan pasangan malas mandi atau sembarangan menaruh barang.
Kekecewaan mulai menumpuk di hati anda. Inilah permulaan konflik yang tak terhindarkan. Pada masa ini, Anda berdua perlu belajar untuk menerima pasangan apa adanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Butuh mengembangkan kasih dan penerimaan tak bersyarat. Buahnya ialah tetap bisa respek meski menemukan kelemahan pasangan.
Sikap lain ialah, Anda perlu belajar mengkomunikasikan secara asertif perasaan sebenarnya. Menyampaikan hal yang anda inginkan dari pasangan. Sambil belajar berempati dan mendengarkan kebutuhan terdalam pasangan. Ini menciptakan fondasi yang kuat, dengan saling mendukung di tahun-tahun yang mulai sulit membangun intimasi
Komunikasi asertif adalah menyampaikan perasaan sesungguhnya, terutama emosi negatif tanpa menyerang mitra bicara. Sebagian kita, umumnya segan menyatakan perasaan seperti marah, sedih dan kecewa, lalu memilih menekan/ menyimpannya
Memendam emosi seperti marah dan kecewa apalagi dalam waktu lama hanya melukai diri sendiri. Tak ada yang salah dengan kesedihan atau kemarahan asal ada alasan dan menyampaikan dengan cara yang tepat. Sampaikanlah kemarahan dengan ekspresi, pilihan kata yang tepat dan pada waktu yang tepat.
Misal: “Pa, boleh kita membicarakan sesuatu yang penting diantara kita, kapan waktu yang enak buat Papa?”
Contoh marah asertif: “Pa, saya kecewa dan merasa marah karena Papa lupa kemarin saya ulangtahun…”
Bandingkan marah yg provokatif: “Itulah, emang sifat Papa itu egois selalu lupa sama istri. Kau tak pernah peduli ulang tahunku”
Marah asertif membuat kita lega, karena tidak perlu menekan kemarahan. Tapi tanpa perlu menyerang pribadi pasangan kita. Komunikasi tetap terjaga baik
Tahap 3: Pemberontakan
Pada tahapan ini pasangan anda mulai kangen dengan teman-temannya. Istri Anda mulai sering arisan atau sekedar reunian. Suka berlama-lama nongkrong dan belanja di mal. Sementara suami Anda lebih memilih asyik dengan hobinya. Ada yang suka memancing, tak sedikit menghabiskan waktu untuk berolahraga usai kantor. Tak sedikit tiba di rumah malah asyik chatting. Kadang tiba sampai rumah sudah larut malam tanpa kirim kabar dan tanpa rasa bersalah. Anda mulai jengkel, karena merasa pasanganmu sudah berubah, cuek.
Sama seperti remaja puber yang ogah jalan dengan orangtuanya, si istri ingin jalan-jalan ke mal tapi sang suami memilih bermain badminton dengan konconya. Yang paling berat ialah saat masing-masing dari mereka ingin membangun karier sendiri. Istri mulai merasa tidak puas hanya di rumah mengurus anak. Gengsi hanya menerima uang bulanan dari suami. Istri mulai usaha dan punya uang sendiri, mulai timbul perasaan disaingi.
Karena sudah punya karier dan uang sendiri tanpa disadari dan tak terhindarkan suami merasa istri mulai mendominasi percakapan. Mulailah saat bertempur atau konflik. Cinta di tengah situasi ini makin tak mudah. Seiring bertambahnya umur, alih-alih mengalah malah keduanya merasa diri benar, dan menuding pasangannyalah yang salah. Menyalahkan pasangan sebagai penyebab rumahtangga tidak bahagia.
Perasaan tersinggung makin menumpuk, dan mulai cenderung berpikir negatif terhadap pasangan. Mind-reading atau membaca pikiran suami. “Jangan-jangan dia sudah …..”
Akibatnya, semua yang baik daripasangan tidak terlihat, semua jadi negatif. Mulailah masing-masing menutup diri, marah jika dikritik pasangan
Tahap ini bagaimanapun tak terhindarkan. Di masa ini anda perlu mempelajari seni mengelola konflik. (Baca buku Ketrampilan Perkawinan)
Seringkali masalah timbul karena isi dari konflik itu sendiri. Sumbernya justru karena punya kemarahan tersembunyi dan sudah merasa frustrasi terhadap pasangan. Inilah yang membuat perasaan anda menjadi negatif meski pasangan berbuat baik.
Untuk menunjukkan kemarahan anda memilih dengan tindakan yang berlawanan dengan keinginan pasangan. Misal, suami anda minta hemat ehh Anda malah boros. Istri anda minta anda setia ehhh andanya malah selingkuh. Diam-diam Anda pindah kerja. Ini bisa menjadi awal petaka perkawinan termasuk perceraian.
Tahap 4: Kerjasama
Sementara pernikahan mengalami progres dia juga menjadi semakin rumit. Karier menanjak, rumah bertambah besar, komitmen personal bertambah dalam dengan munculnya anak-anak.
Dalam tahap kerjasama, pernikahan membutuhkan sifat seperti bisnis. Singkirkan dulu semua cinta-cintaan, emosi, dan hal-hal realisasi pribadi. Ada biaya-biaya bulanan yang harus dibayar, investasi untuk diurus, kesehatan untuk diperhatikan, dan yang terutama, biaya anak-anak sekolah.
Tahap 5: Reuni
Jika anda memiliki anak-anak, tahap kerjasama ini bisa berlangsung 10-20 tahun, dan akan menghilang tiba-tiba. Komitmen parenting akan berkurang, masalah finansial stabil, karir sudah diset, dan tagihan apapun bisa dibayar. Lalu bagaimana? Untuk pasangan yang bahagia, ini adalah saatnya untuk saling mengapresiasi satu sama lain kembali. Bukan sebagai orangtua atau penyedia, tetapi sebagai kekasih dan sahabat. Capailah tahap ini untuk kedamaian, kebahagiaan dan rekonsiliasi.
Semua itu terdengar indah tetapi seringkali sulit untuk dicapai. Api gairah harus distok ulang; kekecewaan serta jarak dari usia paruh baya harus diatur; peran dan ekspektasi dari pernikahan butuh untuk dibangun ulang.
Tahap 6: Ledakan
Pencetusnya ialah hilangnya pekerjaan, masalah kesehatan, atau perpindahan ke kota yang baru. Bisa jadi adanya masalah finansial, penyakit, hingga meninggalnya orangtua. Ini terjadi selagi anda menjalani hidup paruh baya dan menuju usia lansia. Dalam tahap ini, antara anda atau pasangan akan berhadapan dengan kejadian-kejadian besar yang dapat mempengaruhi hubungan Anda selama sehari, setahun atau seumur hidup. Sementara keenam tahap lainnya cenderung untuk muncul secara berurutan, tahap ledakan ini dapat terjadi kapan saja dalam masa pernikahan Anda. Terutama di usia 40 hingga 50 tahun.
Ketika dihadapkan dengan krisis pribadi, pernikahan justru dapat menjadi sumber penghibur. Sebaliknya bisa juga menjadi sumber ketakutan yang baru. Tugas melewati tahapan ledakan ini adalah: hadapi dengan sebaik-baiknya tantangan dan perubahan hidup yang ada. Jaga diri agar tetap bahagia dan sehat, tidak ditentukan situasi sekitar. Pernikahan tetap bisa menjadi sumber kebahagiaan setiap hari, asalkan anda cakap mengelola stres.
Tahap 7: Penyempurnaan
Survey menemukan bahwa kebahagiaan pernikahan muncul setelah beberapa dekade, melewati jalan panjang. Kebahagiaan memang bukan tujuan pernikahan. Kebahagiaan dikaruniakan di tengah perjalanan pernikahan. Setelah melewati pelbagai suka dan duka, untung dan malang. Dengan bertambah besarnya anak-anak dan pasangan sudah mengenal diri masing-masing maka makin bisa menikmati pernikahan. Setelah tinggal bersama sekian lama dapat mentolerir sikap, dan memahami kebutuhan masing-masing. Dalam tahap penyempurnaan ini saling “mengenal” satu sama lain menjadi kunci.
Penting pula diingat, jika ingin tetap bahagia jangan sampai anda kehilangan sifat kekanak-anakanberapapun umur dan berapapun banyak keriput yang anda miliki. Belajarlah humor dan bercanda hingga di usia senja.
Mempertahankan cinta sepanjang kehidupan menjadi kunci untuk menikmati hubungan yang penuh berkat. Meski banyak pengalaman buruk di masa lalu, hiduplah dimasa kini, dan bukan di masa lalu. Tak ada pasangan yang sempurna. Setiap pasangan dipanggil saling menyempurnakan sampai ajal memanggil.
Penutup
Membangun pernikahan yang sukses adalah tantangan seumur hidup. Mengerti fase pernikahan yang berbeda dapat membantu anda membangun hubungan yang lebih kuat dan lebih baik.
(o)
BalasHapus